Madura
Kini dan Nanti
Oleh:
Sepri
Ayu F*
Belum lama ini beredar
isu tentang pendeklarasian Provinsi Madura. Isu tersebut makin jadi setelah
beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam Panitia Persiapan Pembentukan
Provinsi Madura (P4M) mengatakan akan melepaskan ikatannya dari Provinsi Jawa
Timur. Madura yang selama ini masih tergabung dalam Provinsi Jawa Timur akan
dimekarkan dan membentuk otonomi sendiri. Pasalnya, latar belakang dari
pembentukan Provinsi Madura dikarenakan Provinsi Jawa Timur yang kurang
memperhatikan Madura. Madura seperti diasingkan dan dianak tirikan. Terlihat
dari pembangunan sarana dan prasarana yang kurang memadai, jauh dari Surabaya
yang terkelola dengan baik.
Selama saya explore Madura selama lebih kurang dua tahun belakangan, memang tidak terjadi kemajuan
yang signifikan. Misalnya saja di daerah Kamal-Socah, masih terjadi tindak
kriminal dan rawan sekali dengan curanmor. Belum lagi akses jalan yang kurang
baik dan berlubang menuju Suramadu-Kamal. Berbeda sekali dengan Surabaya Kota, di sana
terdapat banyak sekali tempat hiburan maupun rekreasi. Amat jauh berbeda dari Madura. Salah
satu Mall yang terkenal di Madura adalah Bangkalan Plaza. Namun faktanya, hanya
orang-orang yang berkantong tebal saja yang sering mengunjungi tempat ini dan
terkadang lengang di hari-hari tertentu. Kebanyakan warga Madura yang ingin
berlibur juga akan mengujungi kota Surabaya. Hal ini dikarenakan sudah adanya
jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya ke Madura dan sebaliknya.
Sewaktu pertama kali
saya ke sini, saya melewati Suramadu dan masih tidak percaya saya sudah
menginjakkan kaki di Pulau Garam. Sedikit panas memang. Setiap saya berjalan-jalan bersama kawan sepermainan, saya lebih sering
naik kapal. Perjalanan via kapal selama lima belas menit dengan harga tiket Rp 5000, saya
sudah bisa ke ke Madura atau ke Surabaya. Namun yang selalu membuat saya terenyuh, masih banyak
ibu-ibu muda yang berjualan kecil-kecilan di atas kapal, entah kemana suami
mereka yang seharusnya mencari nafkah. Belum lagi ibu-ibu yang berjualan itu
kebanyakan berasal dari Pulau Madura. Rendahnya tingkat ekonomi di Madura,
membuat orang tua harus rela membanting tulang dengan bekerja serabutan. Dan
fakta lainnya yang saya temukan, salah satu desa di Kecamatan Socah, paling
banyak warganya yang bekerja menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar
negeri.
Tidak hanya menyoal
soal mencari nafkah, tingkat pendidikan anak-anak di Madura juga belum bisa
dikatakan bagus. Banyak sekali kawan-kawan mahasiswa saya yang berasal dari
Madura memilih menikah di usia yang masih muda, sekitar 19-22 dan belum
menyelesaikan kuliah. Mereka memilih menikah sambil kuliah. Belum itu saja,
fenomena nikah dini masih sangat banyak di Madura, seperti yang kita ketahui,
pernikahan dini di Madura adalah yang terbesar di Jawa Timur. Anak-anak yang
bekerja menjadi pengemis juga sering saya temui di Pelabuhan Kamal, Madura.
Usia mereka masih muda-muda dan masih menempuh sekolah dasar.
Beralih pada persoalan
di atas, memang masih menjadi perdebatan luas soal alasan mengapa elemen masyarakat
berkeinginan melakukan pemekaran wilayah, menjadikan Pulau Madura sebagai
sebuah provinsi. Berbagai dugaan datang silih berganti mencoba menjawab apa
yang melatar belakangi fenomena ini. Memang argumentasi yang paling sering
dimunculkan bahwa pemekaran wilayah itu bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dan meningkatkan otonomi daerah.
Secara hukum
syarat-syarat pemekaran suatu wilayah untuk menjadi kabupaten/kota atau
provinsi tidak terlalu sulit. Di era otonomi daerah hukum cukup memberikan kelonggaran
kepada daerah untuk melakukan pemekaran. Secara hukum apa syarat-syarat
pemekaran suatu wilayah? Pemekaran wilayah diatur dalam UU No 32 tahun 2004.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini adalah: Pasal 4 (3) “Pembentukan
daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.”
Pada pasal 5 (1)
disebutkan, pemekaran wilayah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan
fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya
persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan
wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta
rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk kabupaten/kota
meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang
bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri
Dalam Negeri. Sedangkan syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar
pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan,
dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik
meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan
paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat)
kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana
pemerintahan.
Namun bukan berarti
apabila suatu daerah telah memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan
fisik kewilayahan maka dengan sendirinya pemekaran wilayah dapat dilakukan. Hal
ini disebabkan oleh adanya persyaratan jangka waktu jalannya pemerintahan
induk. Ada batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan untuk dapat
melakukan pemekaran wilayah. Untuk pembentukan Provinsi disyaratkan sepuluh
tahun, Kabupaten/Kota disyaratkan tujuh tahun, dan untuk Kecamatan batas
minimal penyelenggaraan pemerintahan adalah lima tahun.
Pemekaran suatu wilayah
juga berdampak pada aktifitas politik. Katakanlah terjadi pemekaran wilayah
yang menghasilkan kabupaten baru, bakal terbuka lebih banyak lowongan jabatan
yang tersedia. Mulai dari jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, para asisten,
Sekda, para KABAG, para kepala dinas. Ini jabatan yang utama saja. Begitu juga
di legislatif, tersedia lowongan puluhan anggota Dewan, Unsur pimpinan, Ketua
Komisi, Sekretaris Dewan, para kepala bagian. Bagi banyak orang pastilah
lowongan-lowongan ini sangat menggiurkan. Yang jadi momok masyarakat yakninya
adanya “politik kotor” karena haus akan kekuasaan.
Secara teori, tujuan
pemekaran wilayah antara lain adalah: untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat, peningkatan keamanan dan ketertiban, percepatan pertumbuhan
kehidupan demokrasi, percepatan pengelolaan potensi daerah, dan agar terjadinya
percepatan pembangunan ekonomi daerah. Namun yang ditakutkan, jangan sampai
terjadi pula disharmonisasi antar berbagai komponen masyarakat akibat silang pendapat
soal pemekaran wilayah ini. Yang diharapkan tak lain dan tak bukan adalah kemajuan
dan kesejahteraan bersama.
*Pustakawan,
bergiat di LPM Fanatik (Fotografi dan Jurnalistik).
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih untuk masukannya. Setiap masukan akan dievaluasi untuk output yang lebih baik #JernihBerkomentar